Minggu, 01 November 2009

Penemuan Primata Transgenik Pertama dan Bioetikanya

Ilmuwan Jepang baru-baru ini mengumumkan berhasil menciptakan primata transgenik. Bukan itu saja, untuk pertama kali di dunia, ekspresi gen yang dimasukkan bisa bertahan dan menurun pada generasi kedua primata hasil rekayasa genetika itu. Perkembangan riset eksperimental tentang sejumlah penyakit butuh percobaan dengan memakai primata. Hal itu disebabkan hewan ini lebih dekat dengan manusia secara fungsional dan anatomi daripada hewan pengerat.

Dalam riset yang dimuat pada situs Japan Science and Technology Agency ini, gen yang mengode protein berpendar hijau (green fluorescent protein/ GFP) diisolasi dan diinjeksi dengan vektor virus lalu dimasukkan ke dalam embrio monyet melalui inseminasi buatan. Embrio dengan gen GFP itu dikultur beberapa hari, hanya embrio yang mengekspresikan gen GFP yang dimasukkan ke rahim induk monyet pengganti. Metode ini untuk memastikan kelima monyet yang lahir adalah transgenik.

Percobaan itu berhasil ketika gen itu menurun pada anak- anak monyet yang dilahirkan. Tak semua hewan selamat saat tubuhnya dimasuki gen asing. Bagi yang berhasil, gen itu diturunkan kepada anak-anaknya. Hal ini berarti gen itu bisa dikembangkan melalui proses reproduksi biasa. Monyet-monyet hasil transgenik ini bisa digunakan untuk mempelajari penyakit pada manusia, terutama penyakit turunan seperti penyakit parkinson dan amyotrophic lateral sclerosis.

Sebelumnya, belum ada riset yang berhasil menciptakan hewan primata transgenik generasi kedua dan tak ada bukti ilmiah ekspresi gen dalam jaringan maupun transmisi gen asing ke sel reproduksi primata transgenik. Jadi, penemuan itu pertama kali di dunia dan amat penting dalam pengembangan bioteknologi.

Perpindahan gen

Rekayasa genetik adalah rangkaian teknik untuk mengisolasi, memodifikasi, menggandakan, dan merekombinasi gen dari organisme berbeda. Teknologi ini dirancang untuk mematahkan halangan antarspesies dan melemahkan mekanisme pertahanan spesies.

Agar dapat memanipulasi, menyalin, dan memindahkan gen, para pakar rekayasa genetik menggunakan parasit-parasit genetik yang direkombinasi. Namun, ini justru bisa menyebabkan penyakit, termasuk kanker dan parasit lain, menyebarkan gen virulen dan gen yang kebal antibiotik.

Sejumlah aplikasi rekayasa genetik dalam genetika dan pengobatan punya implikasi bagi etika dan kesehatan, baik untuk manusia maupun hewan. Secara etis, aplikasi itu bisa menimbulkan diskriminasi genetik berdasarkan uji diagnostik dan berdampak negatif pada kesejahteraan hewan.

Aplikasi itu juga dikhawatirkan menimbulkan epidemi lintas spesies akibat rekombinasi antara virus hewan dan manusia, risiko reaksi imunitas serius dari vektor dalam terapi gen. Risiko lain adalah penciptaan supervirus lintas spesies, kanker, penyakit baru dari obat dan vaksin hasil rekayasa genetik.

Penemuan monyet transgenik baru-baru ini diharapkan jadi terobosan dalam pengembangan terapi untuk mengatasi gangguan saraf otak. Mengingat sejumlah risiko yang ditimbulkan, penggunaan bioteknologi itu perlu dilakukan dengan hati-hati dan aman bagi lingkungan.

Kajian Bioetika

Berdasarkan 4 prinsip moral dasar bioetika, penemuan ini dapat dikaji melalui berbagai sudut pandang yaitu dari sudut pandang primata transgenik tersebut, para penderita yang mengaplikasikan penemuan ini untuk penyembuhan penyakitnya, serta lingkungan sebagai suatu area yang berhubungan langsung dengan penggunaan penemuan ini.

Dari sudut pandang primata transgenik itu sendiri, 4 prinsip moral dasar bioetika yang harus dikaji adalah Autonomi, Justice, Beneficence, dan Nonmalficence. Primata yang menjadi objek penelitian pasti tidak bisa berbuat apa-apa ketika manusia mencoba bereksperimen menggunakan tubuhnya, sehingga konsep autonomy tidak terpenuhi. Hewan tersebut tidak dapat memutuskan bagaimana kesanggupannya sebagai bahan percobaan. Namun hal ini harus dikaitkan dengan konsep justice, peneliti harus bersungguh-sungguh menghormati otonomi hewan yang digunakan untuk eksperimennya tersebut. Peneliti dituntut untuk senantiasa berpegang teguh agar tujuan utama menggunakan hewan tersebut bisa berhasil. Dengan adanya prinsip beneficence, eksperimen ini bisa diaplikasikan agar hewan itu sendiri juga bisa tahan terhadap kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan seperti sekarang ini dengan penciptaan hewan varian baru. Dengan berpegang pada prinsip nonmalficence, peneliti juga harus tahu resiko yang muncul pada hewan transgenik itu, misalnya virus yang diinjeksikan ke tubuh hewan itu dikhawatirkan akan bermutasi dan menjadi suatu agen pembawa penyakit baru bagi hewan tersebut dan jika ini terjadi akan berakibat serius untuk keturunannya jika hewan transgenik ini hidup dan berkembangbiak.

Dari sudut pandang para penderita yang mengaplikasikan penemuan ini untuk penyembuhan penyakitnya, penderita tersebut memiliki sebuah prinsip autonomy, prinsip untuk memilih, karena mereka juga berhak untuk sembuh dari penyakit dan bisa kembali sehat. Prinsip justice juga memberi gambaran untuk memberi keadilan bahwa orang sakit berhak disejajarkan dengan orang sehat dengan memberinya penyembuhan. Prinsip beneficence juga bisa digunakan untuk mengkaji bahwa penemuan di ranah bioteknologi ini bisa digunakan untuk mengobati penderita dari penyakit yang ada di tubuhnya. Namun, prinsip nonmalficence mengatakan agar resiko penggunaan bioteknologi ini untuk manusia bisa diminimalisir karena penggunaan virus untuk pengobatan tak selamanya berdampak positif, dampak negatifnya justru bisa lebih gawat jika teknologi yang digunakan kurang berkualitas.

Dari sudut pandang lingkungan, prinsip autonomy, justice, beneficence dan nonmalficence sangat berkaitan erat. Peneliti tidak boleh seenaknya sendiri membuat suatu bioteknologi menggunakan virus tersebut tanpa mempedulikan lingkungan sekitar. Lingkungan juga perlu mendapat perhatian serius karena jika virus yang diinjeksikan ke tubuh hewan menyebar ke lingkungan, kemungkinan virus tersebut masuk ke inang lain, misalnya hewan tertentu, sehingga akan merusak keseimbangan alam dan kelestarian lingkungan tersebut. Akibat buruknya, lingkungan akan rusak dan tempat hidup manusia akan terganggu akibat perlakuan manusia sendiri terhadapnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar