Selasa, 25 Maret 2014

Peran Biologi Molekuler Terhadap Evolusi



Biologi molekuler telah memberi banyak sumbangan penting bagi pemahaman kita atas proses evolusi. Walaupun terkadang dinyatakan bahwa adanya penemuan biologi molekuler menyebabkan teori Darwin harus direvisi sepenuhnya. Namun kenyataannya tidak demikian. Segala penemuan tentang biologi molekuler yang relevan bagi evolusi adalah yang membahas tentang hakikat dan asal-usul variasi genetis. Walaupun di antaranya terdapat beberapa fenomena tak terduga seperti transposon (gen yang dapat “melompat” dari satu kromosom atau posisi ke kromosom atau posisi lain), hal ini hanya mempengaruhi jumlah dan sifat variasi yang tersedia, dan segala variasi tersebut pada akhirnya akan dihadapkan kepada seleksi alam, sehingga masih merupakan bagian proses evolusi Darwinian.


Penemuan molekuler yang paling penting bagi evolusi adalah sebagai berikut :
1.      Program genetis (DNA) tidak langsung menghasilkan materi penyusun suatu organism baru, tapi hanyalah suatu cetakan (informasi) untuk membuat protein-protein fenotipe.
2.     Jalur informasi dari asam nukleat ke protein adalah jalan satu arah. Protein dan informasi yang terkandung di dalamnya tidak dapat diterjemahkan menjadi asam nukleat kembali.
3.     Kode genetis dan sebagian besar mekanisme molekuler sel adalah sama di semua organisme, dari prokariot paling primitif sampai manusia.


Disadur dari : Mayr, E. 2010. Evolusi : Dari Teori ke Fakta. KPG, Jakarta.

Rabu, 19 Maret 2014

Manusia dan Bola Lampu

Seorang peneliti bernama E. G. Ball dari Harvard University telah membuat beberapa perhitungan yang menarik tentang perubahan energi yang terjadi pada tubuh manusia saat bermetabolisme. Karena perubahan oksigen menjadi air menyangkut keikutsertaan atom hidrogen dan elektron, maka jumlah arus elektron dalam tubuh manusia dapat dihitung dan dinyatakan dalam ampere. 

Konsumsi oksigen rata-rata seorang laki-laki dewasa berbobot 70 kg yang sedang istirahat yaitu sebanyak 264 mL per menit dan dari fakta bahwa untuk membentuk sebuah molekul air, tiap atom oksigen memerlukan dua atom hidrogen dan dua elektron, maka Dr. Ball menghitung bahwa tiap menit dalam semua sel tubuh yaitu sebanyak 2,86 x 1022 buah elektron mengalir dari bahan makanan, via dehidrogenase, akseptor primer dan sitokrom ke oksigen. Karena satu ampere sama dengan 3,76 x 1020 elektron per menit, maka arus itu sama dengan 76 ampere. Jumlah ini sangat berarti karena sebuah bola lampu 100 watt hanya menggunakan sedikit di bawah 1 ampere.

Arus elektron dari substrat ke oksigen menyangkut suatu perbedaan potensial sebanyak 1,13 volt (dari -0,32 ke +0,81 volt). Karena volt x ampere = watt, maka 1,13 x 76 = 85,9 watt. Jadi tubuh manusia menggunakan energi hampir sebanyak 100 watt bola lampu, tetapi berbeda karena arus elektron lebih besar dan melalui perubahan voltase yang lebih kecil.

Sumber : 
Villee, C. A., W. F. Walker Jr., & R. D. Barnes. 1984. Zoologi Umum. Erlangga, Jakarta.

Sabtu, 08 Maret 2014

Efek Optimal Suatu Percobaan Teratologi, Antara Waktu dan Dosis.


   Waktu pemberian zat kimia sangat penting, seperti yang digambarkan pada percobaan Tuchman-Duplesis yang dikutip oleh Lu (1995), dengan 6-merkaptopurin yang mengakibatkan cacat saraf dan mata atau anomali kerangka tergantung dari saat pajanan. Namun, untuk penelitian teratologi rutin, zat kimia biasanya diberikan selama periode organogenesis, suatu periode paling rentan untuk embrio. Oleh karena itu, waktu yang tepat yang dapat dilakukan untuk mendapatkan efek yang optimum adalah pada saat organogenesis. Hal ini disebabkan karena selama stadium organogenesis kebanyakan sel embrional dalam bentuk ”blast” atau stadium diferensiasi dan sel-sel tersebut sangat sensitif (Anderson dan Coning, 1988). Selain itu, pada stadium organogenesis, sel secara intensif mengalami gerakan morfogenesis dan organisasi, sehingga setiap gangguan dalam diferensiasi sel akan menyebabkan kelainan bawaan. Kelainan tersebut dapat bervariasi mulai dari kecacatan struktural (malformasi) hambatan pertumbuhan, penurunan fungsi organ sampai kematian. 

Pemberian senyawa kimia ke tubuh induk dapat menyebabkan pengaruh langsung dan tidak langsung pada perkembangan organ, kombinasi efek ini akan dengan mudah muncul selama periode organogenesis. Pengaruh buruk yang terjadi dapat berupa letalitas atau kematian, teratogenik dan toksik (Ariens et al., 1986). Bentuk kelainan pada periode ini berupa cacat kelahiran, embrio letalitas dan resorbsi fetus. Pemberian teratogen pada fase organogenesis akan merusak sel saat diferensiasi yang menyebabkan pertumbuhan terganggu dan akan menimbulkan abnormalitas, dalam proses pembentukan organ itu terjadi molekul baru perpindahan sel, pertumbuhan dan koordinasi dari sistem tubuh sehingga zat ini akan mudah berpengaruh (Sagi, 1999). 

Malformasi yang terjadi khususnya pada organ yang sedang mengalami perkembangan pada saat terpapar. Kejadian malformasi meningkat sepanjang organogenesis awal. Semua sistem organ mulai terbentuk, tetapi diferensiasi sel untuk membentuk suatu organ tertentu dimulai pada hari tertentu pula, sehingga menyebabkan abnormalitas yang spesifik pula. Kejadian kematian prenatal berkurang pada saat organogenesis tetapi terjadi peningkatan kematian perinatal (kematian yang terjadi pada atau sekitar menjelang partus) khususnya pada dosis yang lebih tinggi. Kejadian malformasi yang relatif tinggi akan menurun drastis dengan bertambahnya perkembangan organogenesis. 

Periode organogenesis bervariasi untuk setiap jenis. Periode rentan untuk beberapa jenis hewan dan informasi yang berhubungan dengan itu tercakup dalam tabel 1.

Tabel 1  Penelitian Teratogenesis Pada Beberapa Hewan Mengenai Waktu Efektif Pemberian Teratogen Untuk Mendapatkan Hasil Yang Optimum



Tikus
Mencit
Hamster
Kelinci
Usia induk pada awalnya
100-120 hari

60-90 hari


60-90 hari


Dewasa belum kawin

Periode pemberian dosis*
hari ke 6-15

hari ke 6-15

hari ke 5-10
hari ke 6-18
Seksio Caesaria*
hari ke 20
hari ke 17
hari ke 14
hari ke 29
Pembanding positif †
ASA, 250 mg/kg
ASA, 150 mg/kg
ASA, 250 mg/kg
6-aminonikotinamid 2,5 mg/kg

* Hari 0 adalah ketika sperma ditemukan dalam vagina atau, pada kelinci, hari terjadinya kopulasi atau inseminasi buatan.
† ASA, asam asetilsalisilat, teratogen potensial pada hewan coba tertentu meskipun hanya mampu menyebabkan perdarahan pada janin manusia dan hanya dalam dosis besar.

DAFTAR REFERENSI
Anderson, D., dan D. M. Conning. 1988. Experimental Toxicology, The Basic Principles. London: Royal Society of Chemistry.
Ariens, E. J., E. Mutschler, dan A. M. Simonis. 1994. Toksikologi Umum Pengantar (diterjemahkan oleh Yoke R. Wattimena, Mathilda B. Widiyanto dan Elin Y. Sukandar). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sagi, M. 1999. Teratologi : Panduan Kuliah S2 Program Studi Biologi. Yogyakarta: Laboratorium Histologi-Embriologi Fakultas Biologi UGM.